Senin, 16 Januari 2012

MEMBANGUN SISTEM DETEKSI PESAWAT UNTUK MENGIMBANGI PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PENERBANGAN






 
              Teknologi penerbangan/pesawat udara telah berkembang dengan sangat cepat mengarah  kepada Radar cross section/RCS reductions (memperkecil penampang pantul pada badan pesawat) dengan fokus tiga hal yaitu airfoil, material dan avionics dalam rangka mengurangi kemungkinan dideteksi oleh Radar pertahanan udara. Pertama adalah mengembangkan airfoil (bentuk pesawat).    Pesawat  dibentuk lengkung dan prisma sedemikian rupa, untuk mengurangi pantulan gelombang elektromagnit yang dipantulkan oleh badan pesawat.  Perkembangan kedua adalah material pesawat,  material pesawat dibuat agar gelombang elektromagnit yang  dipancarkan Radar tidak secara sempurna dipantulkan oleh badan pesawat, dengan mengembangkan cat dan material badan pesawat yang dapat mengurangi pantulan gelombang elektromagnit.   Ketiga adalah dengan mengembangkan peralatan avionics (instrument/peralatan elektronik) pesawat dalam bentuk peralatan pengganggu Radar (jammer).   Negara-negara maju telah melakukan riset untuk mengembangkan teknologi penerbangan/pesawat terbang dengan melakukan Radar cross section (RCS) reductions yang disebut Stealth Technology.   USA sebagai penjuru dalam pengembangan teknologi penerbangan telah mengembangkan pesawat berteknologi stealth diberi nama F-117/A Nighthawk, pesawat ini mulai diterbangkan pada tahun 1981, pada tahun 1989 diterbangkan pesawat B-2 Spirit, pesawat F-22 Raptor diterbangkan pada tahun 1997 dan pada tahun 2006 diterbangkan pesawat F-35 Lightning II JSF semuanya menggunakan teknologi Stealth.   Tidak ketinggalan Rusia, mengembangkan pesawat berteknologi stealth yaitu pesawat Sukhoi SU 27 dan Sukhoi SU 30.    Disamping teknologi Stealth pada akhir-akhir ini sudah lebih 36 negara melaksanakan riset untuk mengembangkan UAV (unmanned aerial vihicles), USA telah berhasil menerbangkan UAV untuk pelaksanaan operasi militernya di medan pertempuran dengan MQ-9 Reaper Hunter/ Killer dengan kemampuan terbang long endurance, medium altitude unmanned aircraft system for surveillance and reconnaissance missions yang mulai dioperasikan  pada tahun 1994 dan RQ-4A/BGlobal Hawk High-Altitude, Long-Endurance, Unmanned Reconnaissance Aircraft  mulai diterbangkan pada tahun 2001.
Karena hasil deteksi Radar menjadi kurang memuaskan, dengan berkembangnya teknologi stealth dan bahkan sangat-sangat sulit mendeteksi UAV, maka dikembangkan peralatan sensor pasif (passive sensor) atau sebagian orang menyebut Radar Pasif yaitu suatu peralatan penerima (receiver) dari semua frekuensi yang dipancarkan oleh pesawat/UAV, antara lain komunikasi HF/VHF/UHF, Radar altimeter (ketinggian), Radar cuaca dan Radar deteksi, peralatan navigasi  (TACAN, DME), IFF (identification friend or foe), berbagai komunikasi data dan kontrol, semua gelombang elektromagnit yang dipantulkan oleh badan pesawat dan peralatan lain di pesawat/UAV yang memancarkan gelombang elektromagnit, bahkan beberapa literatur menyatakan bahwa sensor pasif mampu mendeteksi hasil interferensi engine dan exhaust pesawat yang telah tersimpan polanya dalam data base.   Sensor pasif tersebut merupakan suatu solusi untuk membangun sistem deteksi yang handal dalam pertahanan udara, guna mendeteksi pesawat berteknologi Stealth dan UAV.


Gambar 2, RQ-4 Global Hawk, a high-altitude reconnaissance UAV
capable of 36 hours continuous flight time.
Sensor Pasif (Radar Pasif)
                    Sensor Pasif adalah peralatan elektronika yang berfungsi sebagai penerima/receiver  gelombang elektromagnetik yang sangat sensitif (-120 dBm s.d. -150 dBm) dengan band width yang sangat lebar (0,135 – 18 GHz dapat dikembangkan pada band width komunikasi dan frekwensi sampai dengan 42 GHz) dan tidak memancarkan gelombang elektromagnetik, perkembangan teknologi ini terinspirasi dan bersumber dari teknologi Electronic Support Measure (ESM), Electronic Inteligent (Elint), dan Signal Inteligent (Sigint).  Dengan memanfaatkan teknologi dasar Elint dikembangkan menjadi sensor pasif atau sering disebut Intelligent Flight Detector/IFD atau Electronic Inteligent Complex/EIC atau Passive Surveillance System/PSS.   Sensor pasif dalam menentukan posisi target menggunakan metoda Multilateration, yaitu dengan menempatkan tiga sensor pasif (satu set) yang masing-masing berjarak 10-30 km satu dengan yang lainnya secara  sinkronisasi.   Beberapa negara telah berhasil mengembangkan dan memproduksinya antara lain, Kolchuga  dari Ukraina (Topaz Company), VERA-E dari Republik Czech (ERA Company), dan Korea Utara dengan Passive Surveillance System PGS (Puk-Guk-Song) serta beberapa negara telah mengembangkan teknologi ini secara diam-diam.    Kehandalan sistem ini telah terbukti di medan pertempuran dengan mengintegrasikan sensor pasif dan peluru kendali, mampu mendeteksi dan merontokkan pesawat siluman berteknologi Stealth  F-117/A Nighthawk tahun 1999 di Bosnia/Yugoslavia, karena pesawat tersebut memancarkan gelombang elektromagnetik dari Radar altimeter yang dihidupkan saat melaksanakan terbang rendah.
Sensor pasif memanfaatkan metoda Multilateration dalam menghitung posisi target menggunakan prinsip Time Different of Arrival (TDOA), signal dari target diterima masing-masing unit dengan waktu berbeda, dari perbedaan waktu tersebut mencerminkan perbedaan jarak, maka target/emitter dapat diketahui posisinya.

Gambar 3,  Prinsip kerja metoda multilaterasi menggunakan perhitungan Time Difference Of Arrival (TDOA).  Posisi C, L, dan R diketahui dan posisi C sebagai referensi, perbedaan waktu datang signal dapat dihitung, maka jarak antara emitter dengan posisi sensor pasif C, L dan R dapat diketahui, sehingga posisi/ kedudukan emitter/pesawat dapat diketahui dalam tiga dimensi ( range, bearing dan altitude).
Disamping menggunakan perhitungan TDOA dalam menentukan posisi target, sistim ini dilengkapi dengan soft ware untuk perhitungan AOA (Anggle of Arrival) apabila station yang menerima signal hanya dua (data target yang diperoleh range dan bearing saja). 

Gambar 4,  pola gelar satu set sensor pasif terdiri dari 3 unit, digelar dengan jarak 10-30 Km satu dengan yang lainnya, pola gelar tersebut untuk keperluan perhitungan posisi target/emiter.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dalam penggunaan sensor pasif untuk  membangun sistem deteksi pesawat (sistem deteksi pertahanan udara) adalah sebagai berikut :
  1. Mampu mendeteksi target yang memancarkan gelombang elektromagnit dengan perolehan data tiga dimensi (range, bearing dan altitude) dengan jarang target antara 600 – 800 Km (tergantung kekuatan signal yang dipancarkan pesawat).
  2. Disamping mampu mendeteksi target udara, sensor pasif mampu mendeteksi sumber emisi di lautan dan daratan (data dapat dimanfaatkan oleh TNI AL dan TNI AD).
  3. Handal terhadap jammer, karena sensor pasif tanpa memancarkan gelombang elektromagnit dan bekerja hanya sebagai receiver dengan band width sangat lebar (0,135 – 18 GHz), bahkan dapat diperlebar untuk frekwensi komunikasi sampai dengan 42 GHz.
  4. Secara elektronik sangat sulit mendeteksi/mencari kedudukan sensor pasif (kerahasiaan), karena bekerja hanya sebagai penerima/reciver, sangat cocok untuk tugas-tugas early warning di daerah-daerah perbatasan.
  5. Lebih murah (cost efectiveness), karena lebih murah dalam pengadaan (harga setengahnya Radar), murah operasional dan perawatan, sebab hanya bersifat penerima/reciver.
  6. Dapat diintegrasikan dengan sistem pertahanan udara yang telah tergelar.
  7. Pada produk tertentu mampu mendeteksi pada jarak 600-800 Km dan mampu mendeteksi target dibawah horison (under horizon targets), dengan demikian jumlah sensor pasif yang digelar tidak perlu dalam jumlah banyak, wilayah Indonesi cukup digelar dengan 10 unit saja.
  8. Sistem deteksi pertahanan udara menjadi sangat handal jika sensor pasif disinergikan dengan Radar yang telah tergelar.
Disamping terdapat beberapa kelebihan dan keuntungan, sensor pasif juga memiliki kelemahan, yaitu dalam mendeteksi target sensor pasif memerlukan pancaran signal/gelombang elektromagnit dari target, oleh karena itu peran data base pola pancaran gelombang elektromagnit pesawat bagi sensor pasif menjadi sangat penting.

Gambar 5, beberapa produk sensor pasif dari Czech, Ukraina dan Korea Utara, setiap set sensor pasif terdiri dari tiga unit yang penggelarannya masing-masing berjarak antara 10-30 Km.
Pola Gelar Sensor Pasif.
Wilayah NKRI yang sangat luas cukup digelar 10 unit untuk sensor pasif sejenis Kolchuga yang mampu mendeteksi sejauh 600 Km, sedangkan harganya lebih murah dari harga Radar, dengan demikian penggunaan sensor pasif menjadi sangat hemat anggaran.   Gelar kombinasi antara sensor pasif dengan Radar (yang telah tergelar) secara sinergis dapat menghasilkan suatu sistem deteksi yang handal untuk menghadapi perkembangan teknologi penerbangan/pesawat yang telah bergerak menuju kepada penggunaan teknologi stealth dan UAV (periksa gambar 6).   Gelar Radar ditempatkan di daerah-daerah obyek vital, pangkalan induk dan pangkalan operasi yang penting dan strategis.  Dengan demikian diperlukan modifikasi pola gelar, dengan mensinergikan antara sensor pasif dan Radar akan menghasilkan suatu sistem deteksi yang mampu menghadapi perkembangan teknologi penerbangan stealth dan UAV.   Sinergi antara sensor pasif dengan Radar akan menghasilkan sistem deteksi untuk pertahanan udara dengan beberapa keunggulan antara lain :
  1. High resistance.
  2. High effectiveness.
  3. High quality RAP (Recognised Air space Picture) for Air Defence.
  4. Flexibility in any EW (early warning) condition.
  5. High Probability of intercept.

Gambar 6, contoh gambaran penggelaran sensor pasif sejenis Kolchuga yang berkemampuan sampai 600 Km/335 Nm, untuk wilayah Indonesia cukup digelar sebanyak 10 unit saja, disinergikan dengan Radar (13 unit, jarak jangkau 435 Km/240 Nm) digelar di daerah-daerah obyek vital dan pangkalan induk/operasi yang strategis.
Kesimpulan
Perkembangan teknologi penerbangan/pesawat (stealth/UAV) memaksa untuk mendesain ulang (gelar dan komposisi serta jenis) sistem deteksi pesawat dalam pertahanan udara sesuai dengan arah perkembangan teknologi penerbangan.    Keterbatasan anggaran memaksa untuk berinovasi agar dalam membangun sistem deteksi pertahanan udara dapat tetap handal, namun dengan anggaran yang tidak terlalu besar.   Penggunaan sistem deteksi Radar dan sensor pasif secara sinergi dapat menekan anggaran, namun sistem deteksi tetap handal dan memiliki kemampuan untuk mendeteksi pesawat berteknologi Stealth dan UAV.   Kajian terhadap Alutsista pertahanan harus dilakukan terus menerus seiring dengan perkembangan teknologi.   Diperlukan suatu komitmen yang tinggi bagi semua pihak untuk dapat melaksanakan alih teknologi Alutsista pertahanan, guna membangun sistem pertahanan secara lebih mandiri.  

Daftar Pustaka :
  1. Presentasi Topaz Co. Ukraina, Sensor Pasif Kolchuga.
  2. Presentasi Era Co. Czech, Sensor Pasif  Vera-E.
  3. Presentasi Lim Myong Su Co., Korea Utara, Sensor Pasif Pu Guk Song.
  4. Multilateration, http://en.wikipedia.org/wiki/Multilateration.
  5. Merrill I. Skolnik, Radar Handbook, Mc Graw Hill Third Edition, 2008.
  6. Kolchuga Passive Sensor, http://en.wikipedia.org/wiki/Kolchuga_passive_ sensor.
  7. UAV, http://en.wikipedia.org/wiki/Unmanned_aerial_vehicle.
  8. Stealth, http://www.ausairpower.net/ TE-Stealth.html.
  9. UCAV, http://www.ausairpower.net/TE-UCAV-2003.html.
  10. Stealth In Strike Warfare, http://www.ausairpower.net/API-VLO-Strike.html.
Oleh : Kolonel Lek Noor Pramadi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar